Kamis, 03 Oktober 2013

Pembuktian


PEMBUKTIAN

Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan  dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil  yang dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan.
Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian yang dimaksud berbeda dengan pembuktian dalam ranah hukum pidana. Dalam hukum pidana, sistem pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian stelsel negatif menurut ketentuan undang-undang (negatief  weterlijk stelsel) untuk mencari kebenaran materiil (prinsip beyond reasoble doubt). Sementara dalam hukum acara perdata, kebenaran yang dicarai dan diwujudkan leh hakim cukup berupa kebenaran formil (formeel warheid). Dalam mencari kebenaran formil, prinsip yang patut dipegang oleh hakim antara lain adalah bahwa hakim bersifat pasif, yaitu tidak diperkenankan untuk mengambil prakarsa aktif untuk menambah atau mengajuan pembuktian yang diperlukan. Hal itu merupakan pilihan hak dari masing-masing pihak. Prinsip lain adalah bahwa putusan berdasarkan pembuktian fakta, yaitu ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak.
Menurut pasal 1866 KUHP ada lima macam alat pembuktian yang sah, alat pembuktian itu sendiri meliputi:
1.      Bukti tertulis atau surat-surat
2.      Bukti saksi
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Adapun penjelasan dari lima macam alat pembuktian tersebut ialah sebagai berikut:
1. Alat Bukti Tulisan
Salah satu syarat pokok surat atau tulisan sebagai alat bukti, harus tercamtum di dalamnya tanda tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda tangan, suatu surat tidak sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut harus memenuhi syarat, pertama menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil, kedua tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil, ketiga ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel dengan huruf cetak, keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si penanda tangan, kelima tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Tanda tangan tidak hanya tertulis, namun juga dapat berupa cap jempol yang dipersamakan dengan tanda tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata, St. 1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk keabsahannya harus, pertama dilegalisir pejabat yang berwenang (waarmerking), kedua dilegalisasi diberi tanggal, ketiga pernyataan dari yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya, keempat isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan, kelima pembubuhan cap jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.   
Dalam hukum perdata, dikenal tiga macam tulisan:
           a.  Akta Otentik
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh atau dihapadan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta yang dibuat (Vide Pasal 1868 KUH Perdata). Kekuatan pembuktian akta otentik secara formil menurut Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya. Dalam Putusan MA No.3917 K/Pdt/1986, ditegaskan juga bahwa pada dasarnya apa yang tertuang dalam akta notaris, harus dianggap benar merupakan kehendak para pihak.
Syarat-syarat dari akta otentik adalah sebagai berikut:
1)      dibuat dihadapan pejabat yang berwenang;
2)      dihadiri para pihak;
3)      kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat;
4)      dihadiri dua orang saksi;
5)      menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap para saksi;
6)      menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta;
7)      notaris membacakan akta di hadapan para penghadap;
8)      ditanda tangani semua pihak;
9)      penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatanganan pada bagian penutup akta. 
            b. Akta Bawah Tangan
Menurut Pasal 1874 KUH Perdata dan Pasal 286 RBG, akta bawah tangan adalah tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan yang tidak ditanda tangani pejabat yang berwenang, tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak.
Syarat-syarat dari akta bawah tangan sebagai berikut:
1)      tertulis/tulisan;
2)      dibuat oleh dua pihak atau lebih, tanpa bantuan pejabat yang berwenang;
3)      ditanda tangani oleh para pihak;
4)      mencamtumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
            c. Akta Pengakuan Sepihak
Akta pengakuan sepihak secara tersirat diatur dalam Putusan MA No. 1363 K/Pdt/1996, Pasal 1878 KUH Perdata, dan Pasal 291 RBG. Menurut ketiga peraturan ini akta pengakuan sepihak harus tunduk pada Pasal 1878 KUH Perdata, dengan syarat seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penanda tangan dan paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut di dalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.  
Syarat-syarat dari akta pengakuan sepihak sebagai berikut:
1)      tertulis;
2)      mencamtumkan identitas;
3)      menyebut dengan pasti, misalnya waktu pembayaran;
4)      ditulis tangan oleh penanda tangan;
5)      ditanda tangani penulis akta.

2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:
a         Orang yang Cakap
b        Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
c         Diperiksa Satu Persatu
d        Mengucapkan Sumpah
e         Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
f         Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
g        Saling Persesuaian

3. Persangkaan
Dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.
Dalam Kamus Hukum Engelbrecht, persangkaan (vermoedem) adalah “kesimpulan yang ditarik oleh UU atau oleh hakim dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum diketahui”. Artinya bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui atau ditemukannya fakta lain.
Persangkaan terbagi dua:
a         Persangkaan undang-undang, yaitu suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
b        Persangkaan hakim (presumtion of fact), yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

4. Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan  menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a         Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
b        Kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.

5. Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”
Syarat-Syarat Sumpah:
Agar sumpah sebagai alat bukti sah, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a         Ikrar diucapkan dengan lisan;
b        Diucapkan di muka hakim dalam persidangan (Vide Pasal 1929, 1944 KUH Perdata dan Pasal 158 ayat (1) HIR) atau dapat dilakukan dirumah kalau yang bersangkutan berhalangan atau rumah ibadah;
c         Dilaksanakan dihadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Sedangkan “sumpah tambahan” (supletoir eed) adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang  beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, yaitu:
1) Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini orang yang mempuyai hak harus membuktikan hak tersebut, bukan mengingkari atau menyangkalnya. Dasar yang menjadi teori ini adalah bahwa hal yang negatif tidak perlu untuk dibuktikan. Hal negatif tidak mungkin menjadi dasar dari suatu hal, meskipun mungkin pembuktian terhadap hal negatif dilakukan, akan tetapi hal tersebut tidak penting dan tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.
2) Teori Hukum Subyektif
Menurut teori hukum ini suatu proses perdata merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif. Teori ini menyebutkan bahwa  barang siapa mengakui mempunyai hak, maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Sedangkan pihak lain yang membantah hak tersebut harus membantah dan membuktikan bahwa hak tersebut tidak ada. Teori ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW.
3)  Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat minta pada hakim agar menerapkan ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan terhadap peristiwa tersebut.
4) Teori Hukum Publik
Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, maka hakim diberi kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban untuk membuktikan yang bersifat hukum publik, yakni membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5)  Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram, asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini  adalah kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka hakim. Hakim berdasarkan kesamaan kedudukan harus  memberikan beban yang sama kepada para pihak untuk membuktikan  terhadap apa yang didalihkan. Akibat dari asas ini adalah setiap pihak mempuyai kesempatan yang sama untuk menang. Hal yang harus dibuktikan adalah hal-hal yang positif saja, yakni adanya suatu peristiwa bukan tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula jika seseorang menguasai suatu barang, maka tidak membuktikan bahwa dia tidak berhak terhadap barang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mengaku mempunyai hak yang berada dalam kekuasaan orang lain, maka dia harus membuktikan bahwa dia berhak atas barang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar