PEMBUKTIAN
Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak
berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah
proses membuktikan dan meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil yang dikemukan
oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan.
Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian yang dimaksud
berbeda dengan pembuktian dalam ranah hukum pidana. Dalam hukum pidana, sistem
pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian stelsel negatif menurut
ketentuan undang-undang (negatief
weterlijk stelsel) untuk mencari kebenaran materiil (prinsip beyond
reasoble doubt). Sementara dalam hukum acara perdata, kebenaran yang
dicarai dan diwujudkan leh hakim cukup berupa kebenaran formil (formeel
warheid). Dalam mencari kebenaran formil, prinsip yang patut dipegang oleh
hakim antara lain adalah bahwa hakim bersifat pasif, yaitu tidak diperkenankan
untuk mengambil prakarsa aktif untuk menambah atau mengajuan pembuktian yang
diperlukan. Hal itu merupakan pilihan hak dari masing-masing pihak. Prinsip
lain adalah bahwa putusan berdasarkan pembuktian fakta, yaitu ditolak atau
dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian dari fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak.
Menurut pasal 1866 KUHP ada lima macam alat pembuktian
yang sah, alat pembuktian itu sendiri meliputi:
1.
Bukti tertulis atau surat-surat
2.
Bukti saksi
3.
Persangkaan
4.
Pengakuan
5.
Sumpah
Adapun penjelasan dari lima macam alat pembuktian
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Alat Bukti
Tulisan
Salah satu syarat pokok surat atau tulisan sebagai alat bukti,
harus tercamtum di dalamnya tanda tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda
tangan, suatu surat tidak sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut
harus memenuhi syarat, pertama menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa
menambah nama kecil, kedua tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil,
ketiga ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel
dengan huruf cetak, keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si
penanda tangan, kelima tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Tanda tangan tidak hanya tertulis, namun juga dapat berupa cap
jempol yang dipersamakan dengan tanda tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal
1874 ayat (2) KUH Perdata, St. 1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk
keabsahannya harus, pertama dilegalisir pejabat yang berwenang (waarmerking),
kedua dilegalisasi diberi tanggal, ketiga pernyataan dari yang melegalisir,
bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya,
keempat isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan, kelima pembubuhan
cap jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.
Dalam hukum perdata, dikenal tiga macam tulisan:
a. Akta Otentik
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan UU oleh atau dihapadan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat
akta yang dibuat (Vide Pasal 1868 KUH Perdata). Kekuatan pembuktian akta
otentik secara formil menurut Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan
yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan
kepada pejabat yang membuatnya. Dalam Putusan MA No.3917 K/Pdt/1986, ditegaskan
juga bahwa pada dasarnya apa yang tertuang dalam akta notaris, harus dianggap
benar merupakan kehendak para pihak.
Syarat-syarat dari akta otentik adalah sebagai berikut:
1) dibuat dihadapan pejabat yang berwenang;
2) dihadiri para pihak;
3) kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat;
4) dihadiri dua orang saksi;
5) menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap para saksi;
6) menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta;
7) notaris membacakan akta di hadapan para penghadap;
8) ditanda tangani semua pihak;
9) penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatanganan pada bagian
penutup akta.
b. Akta
Bawah Tangan
Menurut Pasal 1874 KUH Perdata dan Pasal 286 RBG, akta bawah tangan
adalah tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan yang tidak
ditanda tangani pejabat yang berwenang, tetapi dibuat sendiri oleh seseorang
atau para pihak.
Syarat-syarat dari akta bawah tangan sebagai berikut:
1) tertulis/tulisan;
2) dibuat oleh dua pihak atau lebih, tanpa bantuan pejabat yang
berwenang;
3) ditanda tangani oleh para pihak;
4) mencamtumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
c. Akta
Pengakuan Sepihak
Akta pengakuan sepihak secara tersirat diatur dalam Putusan MA No.
1363 K/Pdt/1996, Pasal 1878 KUH Perdata, dan Pasal 291 RBG. Menurut ketiga
peraturan ini akta pengakuan sepihak harus tunduk pada Pasal 1878 KUH Perdata,
dengan syarat seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat
dan si penanda tangan dan paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek
barang yang disebut di dalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan
penanda tangan.
Syarat-syarat dari akta pengakuan sepihak sebagai berikut:
1) tertulis;
2) mencamtumkan identitas;
3) menyebut dengan pasti, misalnya waktu pembayaran;
4) ditulis tangan oleh penanda tangan;
5)
ditanda
tangani penulis akta.
2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan
kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang
diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri,
sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk
dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan
dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”.
Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa
perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan
dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak
menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang
berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu
menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya,
sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR
hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila
tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal
139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta
Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141
ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai
berikut:
a
Orang yang Cakap
b
Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
c
Diperiksa Satu Persatu
d
Mengucapkan Sumpah
e
Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
f
Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber
Pengetahuan
g
Saling Persesuaian
3. Persangkaan
Dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan
adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu
peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui
umum”.
Dalam Kamus Hukum Engelbrecht, persangkaan
(vermoedem) adalah “kesimpulan yang ditarik oleh UU atau oleh hakim dari suatu
hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum
diketahui”. Artinya bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik
kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta
itu belum diketahui atau ditemukannya fakta lain.
Persangkaan terbagi dua:
a
Persangkaan undang-undang, yaitu suatu
peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain.
Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama
tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
b
Persangkaan hakim (presumtion of fact), yaitu suatu
peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya
perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus.
Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi
perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
4. Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat
bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada
pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam
sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang
didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH
Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh
para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok
perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang
dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil
bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama
pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau
peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang
memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a
Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni
penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
b
Kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan
pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan
dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas
(expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan
dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.
5. Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan
yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi
keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah
tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah
pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan
pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa
dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji
yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”
Syarat-Syarat Sumpah:
Agar sumpah sebagai alat bukti sah, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a
Ikrar
diucapkan dengan lisan;
b
Diucapkan
di muka hakim dalam persidangan (Vide Pasal 1929, 1944 KUH Perdata dan Pasal
158 ayat (1) HIR) atau dapat dilakukan dirumah kalau yang bersangkutan
berhalangan atau rumah ibadah;
c
Dilaksanakan
dihadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu
sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk
mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Sedangkan “sumpah
tambahan” (supletoir eed) adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim
pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa
didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu
ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk
menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa
apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu
hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam ilmu pengetahuan
terdapat beberapa teori tentang beban
pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, yaitu:
1)
Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini orang yang mempuyai hak harus membuktikan hak
tersebut, bukan mengingkari atau menyangkalnya. Dasar yang menjadi teori ini
adalah bahwa hal yang negatif tidak perlu untuk dibuktikan. Hal negatif tidak
mungkin menjadi dasar dari suatu hal, meskipun mungkin pembuktian terhadap hal
negatif dilakukan, akan tetapi hal tersebut tidak penting dan tidak dapat
dibebankan kepada seseorang. Teori ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.
2)
Teori Hukum Subyektif
Menurut teori hukum ini suatu proses perdata merupakan pelaksanaan
hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif. Teori ini
menyebutkan bahwa barang siapa mengakui
mempunyai hak, maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Sedangkan pihak
lain yang membantah hak tersebut harus membantah dan membuktikan bahwa hak
tersebut tidak ada. Teori ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW.
3) Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti
penggugat minta pada hakim agar menerapkan ketentuan hukum obyektif terhadap
peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat membuktikan kebenaran dari
peristiwa yang diajukan dan mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan terhadap
peristiwa tersebut.
4)
Teori Hukum Publik
Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam
peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, maka hakim diberi
kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak
ada kewajiban untuk membuktikan yang bersifat hukum publik, yakni membuktikan
dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5) Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram, asas pembagian beban pembuktian menurut teori
ini adalah kedudukan prosesuil yang sama
daripada para pihak di muka hakim. Hakim berdasarkan kesamaan kedudukan
harus memberikan beban yang sama kepada
para pihak untuk membuktikan terhadap
apa yang didalihkan. Akibat dari asas ini adalah setiap pihak mempuyai kesempatan
yang sama untuk menang. Hal yang harus dibuktikan adalah hal-hal yang positif
saja, yakni adanya suatu peristiwa bukan tidak adanya suatu peristiwa. Demikian
pula jika seseorang menguasai suatu barang, maka tidak membuktikan bahwa dia
tidak berhak terhadap barang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mengaku
mempunyai hak yang berada dalam kekuasaan orang lain, maka dia harus
membuktikan bahwa dia berhak atas barang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar