Kamis, 17 Oktober 2013

Upaya Hukum


UPAYA HUKUM
Pengertian
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi  (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.
1.        Upaya hukum biasa
a.    Verzet adalah salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
Prosedur mengajukan verzet, pasal 129 ayat (1) HIR
·         Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
·         Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
·         Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.
    Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.

b.    Banding adalah permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetapan pengadilan tingkat pertama (PA) karena merasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke pengadilan tingkat banding (PTA)
    (Permohonan banding diatur dalam pasal 61 bab IV UU no. 50 th 2009)
 “Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali jika UU menentukan lain”
Prosedur mengajukan permohonan banding (berdasarkan pasal 7-5 UU no.20 th 1947)
      Tenggang waktu permohonan banding 14 hari setelah putusan di ucapkan
      Permohonan banding disampaikan kepada panetera PA yang memutus perkara
      Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan
      Biaya banding di bebani kepada pemohon
      Panetera meregistrasi, membuat akta banding dan melampirkan dalam berkas perkara sebagai bukti dari PTA
      Juru sita memberitahukan permohonan banding kepada lawan paling lambat 14 hari dari tanggal permohonan banding
      Penyampaian memori banding
      Berkas perkara harus di kirim ke PTA setelah 1 bulan dari permohonan banding

c.    Kasasi adalah mohon pembatalan terhadap putusan /penetapan pengadilan tingkat pertama (PA) atau terhadap putusan pengadilan tingkat banding (PTA) ke mahkamah agung di jakarta melalui PA yang dahulu memutus.
    (Permohonan kasasi diatur dalam pasal 63 bab IV UU no. 50 th 2009)
     “Atas penetapan dan putusan Pengadilan  Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara”
Alasan permohonan kasasi (pasal 30 bab III UU no. 5 th 2004)
      tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
      salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
      lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Prosedur permohonan Kasasi
Tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi 14 hari sejak pemberitahuan putusa PTA (pasal 46 ayat  1 & 2 bab IV UU no. 5 th 2004)
      Permohonan kasasi disampaikan kepada panetera PA yang memutus perkara
      Membayar biaya kasasi
      Pemberitahuan secara tertulis kepada pihak lawan selambat-lambatnya 7 hari
      Pembuatan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari
      Pembuatan jawaban pihak lawan dalam waktu 14 hari
      Pengiriman berkas permohonan kasasi selambat-lambatnya 30 hari

2.    Upaya Hukum Luar Biasa
a.      PK (peninjauan kembali ) atau Request Civil adalah memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena terdapat hal-hal baru yang dahulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka putusan Hakim akan berubah. PK diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan hanya dapat dilakukan oleh MA (bab IV bagian ke-IV UU no. 5 th 2004 pasal 66-76).
Alasan permohonan PK (pasal 67 bab IV UU no. 5 th 2004)
      apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
      apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
      apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
      apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
      apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
      apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Prosedur permohonan mengajukan PK:
·      Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
·      Membayar biaya perkara.
·      Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
·      Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
·      Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
·      Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
·      Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
·         Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
·         Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
·         10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
·         11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)

b.      Derden Verset, merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Putusan Hakim


PUTUSAN HAKIM
Pengertian
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh Hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah Hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan. Hakim menjatuhkan putusan atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat. Bentuk penyelesaian perkara dibedakan atas dua  yaitu:
1.      Putusan/vonis
2.      Penetapan / beschikking
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan  yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.
Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis untuk menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepda pihak yang berperkara. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat pertama.
Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang - undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan.Pengadilan menjatuhkan putusan atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat.

Macam-macam Putusan Hakim

1.     Putusan akhir
Ialah suatu putusan dalam peradilan untuk mengakhiri suatu perkara, dan putusan ini ada bersifat menghukum (condimnatoir) dan bersifat menciptakan (constitutip) dan ada pula bersifat menyatakan (declaratoir).

2.     Putusan comdemnatior
Ialah putusan yang bersifat menghukum. Hukuman dalam perkara perdata berlainan dengan hukuman dalam perkara perdata hukuman artinya kewajiban untuk memenuhi prestasiyang dibebankan oleh hakim. Putusan comdemnatior dapat diartikan suatu putusan yang bersifat menghukum pihak yang di kalahkan untuk memenuhi prestasi, di dalam putusan ini di akui hak penggugat atas prestasi yang di tuntutnya. Pada umumnya putusan ini bersifat membayar artinya putusan itu untuk memenuhi prestasi.

3.     Putusan constitutif
Ialah Suatu putusan yang membuat dan meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, perwalian, pemutusan perjanjian dan sebagainya.

4.     Putusan declaratoir
Ialah suatu putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang lahir dari pernikahan yang sah, hukum  declaratoir murni tidak mempunyai atau upaya untuk memakasa karena sudah mempunyai hakibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawanpun yang di kalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanyalah memiliki kekuatan yang mengikat.

Asas Putusan Hakim
Asas ini di jelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman) yang meliputi :
1.        Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Menurut asas ini putusan yamg dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan terperinci. Alasan-alasan hukum yang menjadi pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan:
a        Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan
b        Hukum kebiasaan
c         Yurisprudensi atau
d        Doktrin hukum
hal ini di jelaskan dalam Pasal 23 UU No.14 tahun 1970, sebagaimana di ubah dengan UU No 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004.
2.        Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Hal ini di gariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja.

3.        Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Larangan ini di sebut ultra petitum partium[3]. Hakim yang mengabulkan melbihi posiya maupun petitum gugat, di anggap telah melampui batas wewenang atau ultra viresyakni beritndak melampui wewenangnya.

4.        Diucapakan di muka umum
Hal ini di atur dalam prinsip pemeriksaan dan putusan diucapakan secara terbuka, ditegaskan dalam Pasal 18 UU No.14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 skarang dalam Pasal 20 UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi: Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapakan dalam sidang terbuka untuk umum.

Kekuatan Putusan Hakim

Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu :

1.        Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat untukmenyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim.
2.        Kekuatan Pembuktian
Putusan pengadilan yang dituangkan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh kedua pihak apabila diperlukan sewaktu – waktu oleh para pihak untuk mengajukan upaya hukum.
3.        Kekuatan Executorial
Putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh para pihak dengan bantuan  alat-alat negara terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Kamis, 03 Oktober 2013

Pembuktian


PEMBUKTIAN

Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan  dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil  yang dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan.
Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian yang dimaksud berbeda dengan pembuktian dalam ranah hukum pidana. Dalam hukum pidana, sistem pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian stelsel negatif menurut ketentuan undang-undang (negatief  weterlijk stelsel) untuk mencari kebenaran materiil (prinsip beyond reasoble doubt). Sementara dalam hukum acara perdata, kebenaran yang dicarai dan diwujudkan leh hakim cukup berupa kebenaran formil (formeel warheid). Dalam mencari kebenaran formil, prinsip yang patut dipegang oleh hakim antara lain adalah bahwa hakim bersifat pasif, yaitu tidak diperkenankan untuk mengambil prakarsa aktif untuk menambah atau mengajuan pembuktian yang diperlukan. Hal itu merupakan pilihan hak dari masing-masing pihak. Prinsip lain adalah bahwa putusan berdasarkan pembuktian fakta, yaitu ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak.
Menurut pasal 1866 KUHP ada lima macam alat pembuktian yang sah, alat pembuktian itu sendiri meliputi:
1.      Bukti tertulis atau surat-surat
2.      Bukti saksi
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Adapun penjelasan dari lima macam alat pembuktian tersebut ialah sebagai berikut:
1. Alat Bukti Tulisan
Salah satu syarat pokok surat atau tulisan sebagai alat bukti, harus tercamtum di dalamnya tanda tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda tangan, suatu surat tidak sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut harus memenuhi syarat, pertama menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil, kedua tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil, ketiga ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel dengan huruf cetak, keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si penanda tangan, kelima tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Tanda tangan tidak hanya tertulis, namun juga dapat berupa cap jempol yang dipersamakan dengan tanda tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata, St. 1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk keabsahannya harus, pertama dilegalisir pejabat yang berwenang (waarmerking), kedua dilegalisasi diberi tanggal, ketiga pernyataan dari yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya, keempat isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan, kelima pembubuhan cap jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.   
Dalam hukum perdata, dikenal tiga macam tulisan:
           a.  Akta Otentik
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh atau dihapadan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta yang dibuat (Vide Pasal 1868 KUH Perdata). Kekuatan pembuktian akta otentik secara formil menurut Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya. Dalam Putusan MA No.3917 K/Pdt/1986, ditegaskan juga bahwa pada dasarnya apa yang tertuang dalam akta notaris, harus dianggap benar merupakan kehendak para pihak.
Syarat-syarat dari akta otentik adalah sebagai berikut:
1)      dibuat dihadapan pejabat yang berwenang;
2)      dihadiri para pihak;
3)      kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat;
4)      dihadiri dua orang saksi;
5)      menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap para saksi;
6)      menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta;
7)      notaris membacakan akta di hadapan para penghadap;
8)      ditanda tangani semua pihak;
9)      penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatanganan pada bagian penutup akta. 
            b. Akta Bawah Tangan
Menurut Pasal 1874 KUH Perdata dan Pasal 286 RBG, akta bawah tangan adalah tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan yang tidak ditanda tangani pejabat yang berwenang, tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak.
Syarat-syarat dari akta bawah tangan sebagai berikut:
1)      tertulis/tulisan;
2)      dibuat oleh dua pihak atau lebih, tanpa bantuan pejabat yang berwenang;
3)      ditanda tangani oleh para pihak;
4)      mencamtumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
            c. Akta Pengakuan Sepihak
Akta pengakuan sepihak secara tersirat diatur dalam Putusan MA No. 1363 K/Pdt/1996, Pasal 1878 KUH Perdata, dan Pasal 291 RBG. Menurut ketiga peraturan ini akta pengakuan sepihak harus tunduk pada Pasal 1878 KUH Perdata, dengan syarat seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penanda tangan dan paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut di dalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.  
Syarat-syarat dari akta pengakuan sepihak sebagai berikut:
1)      tertulis;
2)      mencamtumkan identitas;
3)      menyebut dengan pasti, misalnya waktu pembayaran;
4)      ditulis tangan oleh penanda tangan;
5)      ditanda tangani penulis akta.

2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:
a         Orang yang Cakap
b        Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
c         Diperiksa Satu Persatu
d        Mengucapkan Sumpah
e         Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
f         Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
g        Saling Persesuaian

3. Persangkaan
Dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.
Dalam Kamus Hukum Engelbrecht, persangkaan (vermoedem) adalah “kesimpulan yang ditarik oleh UU atau oleh hakim dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum diketahui”. Artinya bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui atau ditemukannya fakta lain.
Persangkaan terbagi dua:
a         Persangkaan undang-undang, yaitu suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
b        Persangkaan hakim (presumtion of fact), yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

4. Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan  menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a         Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
b        Kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.

5. Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”
Syarat-Syarat Sumpah:
Agar sumpah sebagai alat bukti sah, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a         Ikrar diucapkan dengan lisan;
b        Diucapkan di muka hakim dalam persidangan (Vide Pasal 1929, 1944 KUH Perdata dan Pasal 158 ayat (1) HIR) atau dapat dilakukan dirumah kalau yang bersangkutan berhalangan atau rumah ibadah;
c         Dilaksanakan dihadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Sedangkan “sumpah tambahan” (supletoir eed) adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang  beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, yaitu:
1) Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini orang yang mempuyai hak harus membuktikan hak tersebut, bukan mengingkari atau menyangkalnya. Dasar yang menjadi teori ini adalah bahwa hal yang negatif tidak perlu untuk dibuktikan. Hal negatif tidak mungkin menjadi dasar dari suatu hal, meskipun mungkin pembuktian terhadap hal negatif dilakukan, akan tetapi hal tersebut tidak penting dan tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.
2) Teori Hukum Subyektif
Menurut teori hukum ini suatu proses perdata merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif. Teori ini menyebutkan bahwa  barang siapa mengakui mempunyai hak, maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Sedangkan pihak lain yang membantah hak tersebut harus membantah dan membuktikan bahwa hak tersebut tidak ada. Teori ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW.
3)  Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat minta pada hakim agar menerapkan ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan terhadap peristiwa tersebut.
4) Teori Hukum Publik
Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, maka hakim diberi kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban untuk membuktikan yang bersifat hukum publik, yakni membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5)  Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram, asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini  adalah kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka hakim. Hakim berdasarkan kesamaan kedudukan harus  memberikan beban yang sama kepada para pihak untuk membuktikan  terhadap apa yang didalihkan. Akibat dari asas ini adalah setiap pihak mempuyai kesempatan yang sama untuk menang. Hal yang harus dibuktikan adalah hal-hal yang positif saja, yakni adanya suatu peristiwa bukan tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula jika seseorang menguasai suatu barang, maka tidak membuktikan bahwa dia tidak berhak terhadap barang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mengaku mempunyai hak yang berada dalam kekuasaan orang lain, maka dia harus membuktikan bahwa dia berhak atas barang tersebut.